Kelas Menengah Belum Menjadi Strategi Bisnis
Keberadaan kelas menengah belum menjadi bagian dari strategi pembangunan. Pembangunan seharusnya menyebut tujuannya adalah menciptakan kelas menengah yang produktif. Mereka memiliki kreatvitas yang besar. Untuk itu, pemerintah harus melakiukan transformasi agar mereka produktif .
Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, di Jakarta, menegaskan, berbeda dengan negara-negara maju yang jelas menyebutkan bahwa tujuan pembangunan mereka untuk menciptakan masyarakat yang solid dan produktif. Indonesia tidak demikian.
Jadi, wajar terjadi ketimpangan karena kelompok berpenghasilan kecil belum diberi keberpihakan yang kuat.
Mengenai penyebab di perkotaan, menurutnya, tata kota tidak dirancang untuk pembentukan kelas menengah yang naik dari bawah. Tata kota dirancang untuk orang kaya atau orang yang kompetitif. Di Negara yang berpihak pada kelas menengah, pertumbuhan bagi buruh di bangun di tengah kota, sedangkan untuk orang kaya di daerah pinggiran.
Kita sebaliknya. Akibatnya, buruh hanya bisa tinggal di tepi kota atau bersama keluarga besar di perkampungan kota yang kumuh atau rumah kontrakan yang sempit.
Buruh yang bekerja di jakarta, Tanggerang dan sekitarnya harus tinggal di Karawang, Depok dan kota pinggiran lainnya sehingga gaji habis dengan transportasi dan makan siang. Upah tidak cukup untuk pendidkan dan hiburan yang memadai.
Kebijakan pembangunan perumahan diarahkan bukan untuk kaum miskin. Akibatnya, harga rumah 50 juta keatas tak terjangkau mereka. Seharusnya ada kebijakan pembiayaan yang lebih kreatif.
Di pedesaan, masyarakat kelas bawah sulit naik kelas karena, antara lain, sektor pertanian terpuruk. Subsidi tidak di arahkan untuk petani, tapi di berikan kepada para eksekutif melalui pabrik pupuk, pestisida, birokrasi, koprasi dan lain-lain.
Sumber: Info Ekonomi. Harian Kompas, 23 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar