Artikel Perekonomian Indonesia
Pertumbuhan Ekonomi
Setelah BPS mengumumkan pertumbuhan ekonomi (Product
Domestic Product/PDB) Indonesia tahun 2010 sebesar 6.1 persen, beragam
analisis muncul. Setidaknya di harian Kompas cetak
ada tiga artikel membahas pertumbuhan tersebut. Ekonom Indef, Ahmad Erani
Yustika mengemukakan tiga pendapatnya. Pertama, sektor pertanian yang menyerap
41 persen tenaga kerja hanya tumbuh 2.9 persen, jauh dibawah rata-rata
pertumbuhan nasional sehingga pertumbuhan ekonomi tidak mampu memecahkan masalah
pengangguran dan kemiskinan. Kedua, sektor jasa/non tradable yang menyerap
sedikit tenaga kerja tumbuh lebih cepat sehingga meningkatkan kesenjangan.
Ketiga, terjadi disindustrilisasi (pertumbuhan sektor manufaktur selalu lebih
rendah dari rata-rata nasional). Pengamat pasar modal, Yanuar Rizki berpendapat
pertumbuhan didominasi oleh konsumsi orang kaya dan gagal menggerakkan
perekonomian karena konsumsi dibelanjakan untuk barang-barang impor. Wartawan
Kompas, Orin Basuki menggaris bawahi dominasi jawa yang menyumbang 58% PDB dan
investasi riil masih terpusat di jawa.
Sebenarnya, komposisi pertumbuhan
2010 tidak bisa dikatakan gagal mengatasi masalah pengangguran ataupun
meningkatkan kesenjangan. Sektor penyerap tenaga kerja terbesar setelah
pertanian adalah perdagangan yang menyerap tenaga kerja sebesar 22.5 juta
pekerja atau sekitar 22% dari total pekerja. Sektor ini tumbuh 8.7%, jauh lebih
cepat dari rata-rata pertumbuhan nasional dan tentunya berkontribusi positif
terhadap pemerataan dan penurunan angka pengangguran. Sehingga secara
keseluruhan, pengaruh pertumbuhan semua sektor terhadap tingkat pengangguran
dan kemiskinan tidak bisa dianalisa secara langsung dan memerlukan pengumpulan
data lebih lanjut.
Lebih rendahnya pertumbuhan
sektor pertanian dibandingkan sektor lainnya adalah fenomena yang lazim ditemui
dalam sejarah pembangunan ekonomi di negara-negara besar yang berhasil berrubah
menjadi negara maju, khususnya negara-negara di asia timur. Pertanian memiliki
absolute input constraint yaitu lahan pertanian, sehingga dalam suatu titik,
penambahan input akan menghasilan tambahan output yang lebih rendah.
Belajar dari pengalaman Jepang
(negara lain di kawasan seperti Korea & Taiwan memiliki pola yang hampir
sama), menurut hemat saya, kemiskinan dan ketimpangan pendapatan di Indonesia
hanya bisa diatasi dengan mengurangi jumlah pekerja di sektor pertanian. Data
empiris hampir seluruh perekonomian dunia menunjukan bahwa rasio total gaji
dengan output (labor share to output ratio) adalah tetap, jika jumlah
pekerja sektor pertanian turun, maka pendapatan per pekerja di sektor pertanian
akan naik lebih cepat walaupun pertumbuhan sektor pertanian relative lambat.
Tentunya ini merupakan program besar nasional yang tidak hanya melibatkan
kebijakan ekonomi, tetapi juga sektor lain seperti pendidikan.
Jepang saat ini berhasil menjadi
negara maju sekaligus negara yang paling merata tingkat pendapatanya. Kunci
sukses Jepang ini terletak pada keberhasilannya mengurangi jumlah pekerja di
sektor pertanian. Grafik dibawah menggambarkan bahwa pada tahun 1956, jumlah
pekerja di sektor pertanian di Jepang hampir sama dengan kondisi Indonesia saat
ini yaitu mencapai 35%. Di puncak keemasan ekonomi Jepang di awal 90an, jumlah
pekerja sektor pertanian Jepang turun menjadi hanya sekitar 6%. Walaupun
pemerintah Jepang telah memberikan subsidi besar di sektor pertanian (bisa
dilihat dari meningkatnya jumlah modal yang digunakan di sektor pertanian di
grafik c), rata-rata gaji pekerja di sektor pertanian hanya 20% dari rata-rata
gaji sektor lainnya. Bayangkan besarnya ketimpangan jika tidak ada perpindahan
pekerja sektor pertanian.
Sumber: http://tharycute.blogspot.com/2011/03/tugas-perekonomian-indonesia-artikel.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar